Awalnya, Acik Yuli Triasasi punya toko kelontong. Menjual beras, gula, telur dan kebutuhan pokok Saban hari, dia sibuk melayani pembeli dari sekitar rumahnya. Namun, tahun 2000-an, kondisinya makin surut. Itu juga dirasakan pemilik toko kelontong lainnya.

Acik lalau berpikir untuk menggeser bisnisnya. Yang lebih prospek dan menjanjikan tentunya.  Pada April 2011, Acik mendapat kesempatan mengikuti pelatihan entrepreneur class selama 4 bulan. Acara tersebut diadakan Pengajian Wanita Surabaya (Pengawas).

“Dalam pelatihan itu hanya teori, tidak ada materi prakteknya,” ujar ibu dari tiga orang anak ini saat ditemui di rumah, Jalan Raya Wonosari, Kamis (13/2/2020).

Selanjutnya, Acik dan kawan-kawan alumni pelatuhan sepakat merintis usaha dan membuat komunitas. Mereka mengundang beberapa pelaku usaha yang sudah punya produk setiap minggu untuk memberi pelatuhan.

“Kita patungan untuk uang transportasi mentornya. Alhamdulillah, dari situ akhirnya kami punya produk bros,” terangnya.

Setelah punya produk, Acik mengaku makin aktif dan ikut berbagai kesempatan gelar produk yang diadakan Kecamatan Rungkut. Awal 2012, dia dapat kesempatan ikut bazar di Rumah Susun Wonorejo.

“Saat itu, ada kunjungan Bu Risma (Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini). Saya bawa 23 buah bros yang saya titipkan di stan ibu-ibu PKK. Saya sangat bersyukur tinggal 3 buah. Sejak saat itu saya jadi lebih bersemangat menjadi pelaku usaha,” kupas perempuan kelahiran Malang, 11 Juli 1978, itu.

Acik kemudian bergabung dengan Pahlawan Ekonomi, tahun 2012. Dia mengaku mendapatkan banyak ilmu dan jaringan bisnis. Dia bisa bikian membuat produk aksesoris lain. Seperti gelang dan kalung liontin dari batu alam serta produk lainnya.

Acik juga memberanikan diri menyukap toko kelontongnya menjadi gerai aksesoris. “Sejak akhir 2012, toko itu saya pakai menjadi gerai aksesoris yang saya beri nama Amaopi. Namanya ini sendiri diambil dari kedua nama anak kembar saya, Salma dan Sofia,” tutur dia.

Keputusan mengubah toko kelontongnya menjadi gerai aksesoris ini sangat tepat. Di samping dia tidak kesulitan kulakan dan menjual produk kembali, hasil yang didapat dari berjualan aksesoris lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

Produk aksesoris Acik Yuli dijual mulai dari harga Rp 20 ribu sampai Rp 400 ribu. Detail produk aksesoris yang ditawarkan identik dengan batu-batuan alam.

Kini, ia dibantu tiga orang untuk membuat produknya. Untuk pemasaran, Acik menggunakan online dan offline. Untuk online, dia menggunakan akun Facebook, Instagram, dan WhatsApp. Untuk offline, Acik punya 12 toko rekanan, 9 toko di Setra UKM milik Pemerintah Kota Surabaya dan 3 toko milik rekanan swasta.

“Alhamdulillah. Rata-rata tiap bulan saya dapat mengumpulkan omzet Rp 8,5 juta. Namun saat menjelang bukan Ramadan dan Lebaran, bisa dapat Rp 13 juta. Hasilnya ya setara bahkan melampaui saat saya membuka toko kelontong,” urai istri Jumadi (47) itu.

Acik berharap pada 2020 ini bisa menambah kapasitas produksi sehingga kami bisa melebarkan jangkauan pasar. (wh)